RAKYAT.NEWS, MAKASSAR – Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang strategis dan bernilai ekonomi tinggi. Dalam setiap periode atau waktu tertentu, harga komoditas ini melonjak tinggi di pasar-pasar tradisional akibat tingginya permintaan. Namun, bagaimana bisa tanaman ini mempengaruhi perilaku sosial?

Iqbal Lubis yang dalam kesehariannya sebagai fotografer lepas, menceritakan ketertarikannya terkait perubahan landscape yang terjadi pada masyarakat Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan. “Kalau om (dan) tante saya ke Makassar selalu bawa salak, sayur-sayuran. Ini terbalik, mereka kebanyakan bawa bawang merah,” kata dia saat diskusi pameran foto Setara Bercerita di Benteng Rotterdam, Makassar, Kamis (23/5/2024).

Berdasarkan cerita dari masyarakat kecil di Enrekang, pergeseran aktivitas mereka yang semula dari petani sayur menjadi petani bawang merah adalah murni karena angka ekonomi yang ditawarkan begitu tinggi.

“Perubahan landscape juga itu terasa karena kalau dulu di Gunung Nona saya berdiri di cafe di Gunung Nona, pinggiran Gunung Nona itu belum gundul seperti sekarang. Karena terlalu masifnya petani bawang ini, kemudian ini tergerus,” ungkapnya.

Setelah melakukan pendalaman, Iqbal mengaku menemukan beberapa petani yang resisten dengan racun-racun yang digunakan oleh bawang. “Dari data yang didapat, ada sekitar 135 jenis pestisida dan ada sekitar 50 lebih racun yang digunakan di dalam bawang, itu terus berubah setiap saat,” kata dia.

Iqbal menilai hal ini adalah suatu yang dilematis. Sebab, juga terdengar cerita dari masyarakat setempat yang mengaku dipaksa untuk bertahan dengan janji materi besar.

“Keuntungan dari bawang, kalau (misal ) hari ini kalau update terakhir harga bawang hari ini Rp28 ribu, besok pagi bisa berubah menjadi Rp10 ribu perkilo. Jadi, kalau mereka menggarap lahan bawang tiga bulan lalu (itu) Rp100 juta modal yang mereka keluarkan, besoknya pas mereka mau jual tiba-tiba harganya down itu mereka harus ngutang ke penjual racun dan pestisida,” ucapnya.