Lanjut, Prof Dr Maskun, seharusnya itu diklarifikasi lebih dulu untuk mengetahui ada atau tidaknya prosedur yang telah dilakukan sebelum berita itu diterbitkan. “Di situ yang kita mau buktikan. Apakah memang yang dibuktikan itu si wartawan itu sudah terklarifikasi oleh Pemred sebelum dipublikasikan,” tegas Guru besar Unhas tersebut.

Akademisi Penerhati Dunia Siber UIN Alauddin Makassar, Prof Firdaus Muhammad, menilai jika sudah ada permintaan klarifikasi dan permintaan maaf mestinya persoalan tersebut sudah clear dan cleen. Terkait gugatan hingga Rp 10 M dan permintaan maaf di 13 media dianggap berlebihan. Mestinya hanya permintaan maaf dan klarifikasi sudah cukup mengakomodir berita sebelumnya yang telah terbit dan dianggap merugikan.

Akan tetapi, karena sudah masuk gugatan hukum maka diharapkan dari dewan pers, AJI, LBH pers, IJTI ini semua harus membangun solidaritas dan mengawal kasus tersebut agar media tidak menjadi tekanan. Media harus membangun profesionalisme.

Prof Firdaus Muhammad juga masih berharap jalan damai untuk kedua bela pihak dan berakhir tidak merugikan salah satu pihak. Cukup klarifikasi untuk mengembalikan nama baik.

Ia juga berharap media online sekarang harus diback up untuk membuat pemberitaan profesional, jurnalisme data, agar pemberitaan menjadi edukatif ke masyarakat sehingga tidak provokatif. Pejabat publik sebagai akuntabelitas publik. Sehingga sewajarnya mereka harus dipantau oleh masyarakat melalui peran media.

Contohnya, jika ada pemecatan atau ada hal dilakukan yang merugikan masyarakat. Maka haknya masyarakat untuk tahu apa yang dilakukan oleh seorang figur tersebut dan alat kontrolnya adalah media. Media harus mengontrol pejabat publik agar tidak menyimpang.

“Sekarang ketika diberitakan atau dipublish itu sesuatu hal benar karena itu konsekuensi sebagai pejabat publik. Karena segala tindakannya atau hal terkkait dengan jabatannya harus diketahui oleh publik,” tegasnya.