RAKYAT.NEWS, MAKASSAR — Polemik pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kota Makassar menyisakan catatan kritis soal transparansi dan kepatuhan terhadap regulasi. Alih-alih mengikuti kriteria resmi yang ditetapkan dalam SK Wali Kota Makassar Nomor 1 Tahun 2021, pemilihan lokasi justru didasarkan pada inisiatif pemenang tender, PT Sarana Utama Energy (SUS).

Kriteria ideal telah dirumuskan oleh Tim Ahli dan Panitia Pemilih: pembangunan PLTSa seharusnya dilakukan di kawasan industri, dekat sumber air, dan dekat gardu listrik karena kebutuhan operasional yang tinggi. Namun, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar pada Rabu (7/8/2025), terungkap bahwa lokasi proyek ditentukan sendiri oleh PT SUS.

Fakta ini menimbulkan pertanyaan serius: di mana peran pemerintah dalam mengawal proses yang menyangkut hajat hidup orang banyak?

Mira, salah satu warga yang hadir dalam RDP, menilai bahwa praktik tersebut melanggar prinsip partisipatif sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. “Menurut kami hal ini tidak sejalan dengan perintah Pasal 11 ayat (1)… yang menegaskan setiap orang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan…,” tegasnya.

Di sisi lain, pengelolaan sampah di Makassar memang telah menjadi masalah akut, mulai dari pengangkutan hingga Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tamangapa yang penuh sesak. PLTSa seharusnya menjadi alternatif solusi, namun realisasi proyek yang tak transparan justru memperkeruh situasi.

Warga juga mempertanyakan sistem penanganan limbah, pencemaran air tanah, dan pemilihan teknologi pembakaran, yang hingga kini belum dijelaskan secara terbuka. Bahkan, cerobong asap yang akan dibangun setinggi 30 meter untuk membuang sisa pembakaran, menambah kekhawatiran akan pencemaran udara dalam radius 1 kilometer selama 30 tahun masa operasional.

YouTube player