RAKYAT.NEWS, TAKALAR – Perayaan 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia seharusnya menjadi momentum refleksi atas janji negara menyejahterakan rakyatnya. Namun bagi petani Polongbangkeng di Kabupaten Takalar, kemerdekaan masih terasa semu. Tanah mereka yang dirampas sejak 47 tahun lalu, hingga kini belum dikembalikan, meski masa Hak Guna Usaha (HGU) PTPN seluas 6.650 hektare telah resmi berakhir pada 9 Juli 2024.

Festival Tani yang digelar 18–19 Agustus 2025 di Kelurahan Parang Luara, Takalar, menegaskan hal itu. Dengan menghadirkan 250 petani dari tujuh desa, acara ini bukan hanya perayaan kemerdekaan, tetapi juga ajang menyuarakan kembali tuntutan lama: tanah untuk petani. senin 18 agustus 2025

Ironisnya, undangan kepada Bupati Takalar, DPRD, dan Kantah ATR/BPN Takalar untuk hadir dalam festival ini tidak diindahkan. Absennya pemerintah daerah memperlihatkan kecenderungan abai terhadap penderitaan petani.

“Sejak tidak ada tanah, saya kesulitan untuk menyekolahkan anak saya, kami betul-betul dimiskinkan sejak masuknya PTPN di Takalar. Harapannya tanah petani segera dikembalikan, kami juga mau keadilan, mau mengolah kembali tanah kami,” ungkap Dg. Serang, perwakilan petani Polongbangkeng.

Kisah Dg. Serang bukan satu-satunya. Ribuan keluarga petani di Polongbangkeng mengalami hal serupa, dipaksa menyerahkan tanah produktifnya pada akhir 1970-an hingga 1990-an, dengan atau tanpa ganti rugi. Penyerahan itu berlangsung dalam bayang-bayang aparat bersenjata.

Bagi Muzdalifah Jamal dari GRAMT, kemerdekaan hanya akan berarti jika negara berhenti membiarkan pelanggaran HAM berulang. “Momentum 80 tahun kemerdekaan sejatinya tidak hanya dijadikan sebagai kegiatan seremonial belaka tetapi menjadi ruang refleksi untuk menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM dan HAP, demi mewujudkan keadilan dan kedaulatan bagi petani atas tanahnya,” ujarnya.

 

 

Dwiki Luckianto Septiawan