Fajar Nur Alamsyah, advokat dari tim pendamping hukum Perserikatan Petani Sulawesi Selatan, menjelaskan bahwa tindakan Brimob telah menimbulkan tekanan psikologis terhadap petani, terutama sejak 29 Juni lalu, saat mereka mulai aktif berpatroli.

“Brimob hadir sejak pagi hingga sore, sekitar 10 orang tiap hari. Mereka melakukan pematokan lahan dan mengusir petani dari area garapannya. Ini menimbulkan ketakutan dan rasa tidak aman,” ujar Fajar.

Menurutnya, intimidasi terjadi dalam bentuk ancaman verbal dan tindakan pengusiran yang dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas. Bahkan, pada 3 Juli, empat perempuan petani terlibat langsung dalam aksi menghadang aparat yang hendak melakukan klaim lapangan.

“Warga secara langsung menyampaikan protes bahwa aparat tidak netral dan tidak seharusnya menjadi juru bicara bagi kepentingan kelompok tertentu,” jelas Fajar.

“Kami melihat Brimob justru mengawal klaim dari Alvius G dan kelompoknya, yang menyebut diri masyarakat adat Pamong.”

Fajar menambahkan, keberadaan Brimob yang terus berulang telah mematikan aktivitas ekonomi warga. Petani tak lagi bisa memanen sawit yang mereka tanam sendiri, dan pemasukan pun terhenti.

“Ini bukan hanya soal lahan, tapi soal hidup mereka. Maka dari itu, kami anggap penting untuk membawa kasus ini ke Propam agar dilakukan evaluasi dan penindakan yang perlu.”

Para petani berharap laporan ini segera ditindaklanjuti. Mereka menuntut penarikan pasukan Brimob dari wilayah sengketa, serta mendesak pemerintah untuk segera memberikan kepastian hukum atas status lahan.

“Kami ini petani kecil. Kami tidak punya kekuatan, selain bertahan demi hidup. Brimob harus ditarik. Kalau terus begini, kami tidak tahu bagaimana nasib kami ke depan, ” tutup Ambo Unga.

YouTube player