RAKYAT.NEWS, LUTIM — Sebanyak 17 petani dari Luwu Timur yang tergabung dalam Perserikatan Petani Sulawesi Selatan melaporkan tindakan intimidasi yang dilakukan oleh aparat Brimob kepada masyarakat petani di Kecamatan Makutana, Kabupaten Luwu Timur, Senin (4/8/2025). Laporan ini dilayangkan ke Propam Polda Sulawesi Selatan sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik pengusiran dan perampasan hasil panen yang terjadi tanpa dasar hukum yang jelas.

Peristiwa ini bermula dari sengketa lahan antara pihak penggugat dan PT Sindoka yang turut melibatkan ATR/BPN. Meski pengadilan hanya mengabulkan sebagian klaim—seluas 4,3 hektare—titik lokasi lahan yang dimenangkan tidak pernah ditentukan secara pasti. Hal ini justru menjadi celah munculnya aksi reklaiming sepihak terhadap tanah yang selama ini digarap petani.

Ambo Unga (58), salah satu petani yang mewakili warga empat desa—Kasintu, Non Blok, Koronia, dan Teromo—menyampaikan kesaksiannya dalam laporan tersebut.

“Kami didatangi oleh aparat Brimob. Kehadiran mereka membuat kami tidak tenang. Mereka datang ke wilayah lahan kami dan melarang kami melakukan aktivitas,” ujar Ambo.

“Saya sendiri sudah berada di atas lahan itu sejak tahun 2000. Tanaman yang kami tanam adalah kelapa sawit. Tapi sekarang, tiba-tiba saja kami dihalangi untuk mengambil hasil tanaman kami, tanpa tahu alasan yang jelas.”

Ambo menyebut bahwa kehadiran Brimob tidak disertai dokumen resmi atau pemberitahuan dari pemerintah daerah. Bahkan, menurutnya, ada pihak lain yang justru bisa memanen sawit dengan pengawalan Brimob, sementara petani yang menanam malah dituding seolah pelanggar hukum.

“Kami ini bukan pencuri. Tapi kami yang menanam, malah dilarang. Sementara ada orang lain, yang kami tidak tahu siapa, justru bisa mengambil hasil tanaman dengan pengawalan Brimob. Kami anggap itu pencurian.”