RAKYAT.NEWS, SULSEL – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jeneponto menggelar Bimbingan Teknis Pengelolaan Media Sosial bagi penyelenggara badan adhoc Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) Se-kabupaten Jeneponto, di Ruang Pola Kantor Bupati, Sabtu (27/7/2024).

Bimtek pengelolaan medsos tersebut di buka langsung oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jeneponto Asming Syarif dan didampingi oleh Komisioner KPU Jeneponto terkait lainnya.

Dalam sambutannya, Asming menyampaikan bahwa kegiatan ini di laksanakan dalam rangka meningkatkan sistem pelayanan informasi publik dalam penguatan kelembagaan bagi PPK dan PPS terutama dalam mengelola konten media sosial.

Oleh karena itu, Ketua KPU Jeneponto berharap kepada para peserta Bimtek agar dapat mengikuti dan menyimak yang disampaikan dari pemateri agar nantinya dapat juga membuat konten media sosial secara bijak agar tidak terjerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Dalam bimtek yang di gelar kali ini oleh KPU Jeneponto, menghadirkan pemateri yakni Ketua DPD JOIN Kabupaten Jeneponto Arifuddin Lau, SS, C.PS. C.CTc dan Kabag Ops Polres Jeneponto Kompol Abdul Halim.

Bimtek Pengelolaan Media Sosial Bagi Penyelenggara Adhoc KPU Jeneponto

Dalam pemaparannya, Arifuddin Lau menjelaskan bahwa perkembangan dunia jurnalistik dalam hal ini media arus utama atau mainstream harus bersaing dengan media sosial (medsos). Suka tidak suka, mau tidak mau, media mainstream harus berinovasi agar tidak ketinggalan dari dunia medsos.

Kita ketahui, bahwa sebagian besar dunia medsos dipenuhi oleh konten-konten yang sumber informasinya tidak jelas. Hal ini mampu menyuburkan penyebaran hoaks, apalagi tingkat literasi masyarakat di Indonesia dinilai rendah.

Oleh karena itu, Arifuddin menjelaskan bahwa perlu kita membedakan antara produk jurnalistik dan konten media sosial. Misalnya, perbedaan output atau hasilnya adalah jika produk jurnalistik akan menghasilkan berita, sedangkan medsos adalah informasi.

Kalau berita, informasi-informasi yang terkandung di dalamnya telah memenuhi unsur-unsur jurnalistik seperti unsur 5W1H (apa, di mana, kapan, siapa, mengapa, dan bagaimana). Berita yang tersaji akan berisi informasi detail tentang suatu kejadian, jelasnya.

Sementara di media sosial, sebagian besar tidak lengkap. Contohnya hanya menyebutkan keterangan singkat “Ada orang jatuh, nabrak pohon,” namun tidak dijelaskan siapa orangnya, asal dari mana, kronologis, dan sebagainya.

Peserta Bimtek Pengelolaan Media Sosial bagi Badan Adhoc Se-kabupaten Jeneponto

Produk jurnalistik wajib menggunakan narasumber yang jelas sehingga berita dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan media sosial bisa menggunakan narasumber yang jelas ataupun tidak, bahkan tidak menggunakan narasumber sama sekali.

Produk jurnalistik dihasilkan oleh jurnalis yang memiliki kompetensi. Mereka sudah mengerti dalam pembuatan produk jurnalistik, sehingga akurasinya dapat dipercaya.

Sementara medsos, lanjut Arifuddin produksi informasinya bisa berasal dari orang atau warga yang membagikan informasi, dan sebagian besar tanpa narasumber yang jelas.

“Misalnya saat ada suatu kejadian, foto, atau video, akun media sosial sudah bisa menyebarkan itu karena dianggap akan banyak yang membaca atau melihatnya, tanpa mengetahui kejadian yang sebenarnya,” ungkap Arifuddin.

Sistem kerja di perusahaan pers atau media massa pastinya sudah jelas. Karena terdapat struktur dalam pemuatan berita di antaranya ada jurnalis, editor yang akan memperbaiki informasi dari jurnalis, redaktur, dan pemimpin redaksi sebagai penanggung jawab produk berita yang dihasilkan.

Tanggung jawab di perusaahan pers tentunya berjenjang dari jurnalis hingga pemimpin redaksi. Hal ini sering disebut sebagai pertanggungjawaban model “air terjun”.

Sedangkan di medsos, sistem kerjanya mungkin tidak ada. Karena cukup satu orang saja sudah bisa menghasilkan informasi untuk diunggah ke akun medsosnya. Otomatis, tidak ada sistem pertanggungjawaban seperti halnya di perusahaan media massa.

Setiap jurnalis dalam memproduksi berita maupun produk jurnalistik lainnya memiliki batasan-batasan atau rambu, yaitu kode etik jurnalistik. Kode etik ini wajib diterapkan sebelum berita diterbitkan agar terhindar dari sengketa pers.

Bagaimana dengan medsos? Untuk mengunggah suatu informasi tidak diperlukan adanya batasan. Punya foto atau video menarik sudah bisa diunggah di akun medsos.

Hal ini jugalah yang membuat update informasi terbaru lebih cepat di medsos daripada media mainstream. Jika ada perstiwa pada detik ini, maka tidak sampai lima menit informasinya sudah bisa muncul di medsos. Sedangkan media mainstream paling cepat 30 menit hingga 1 jam. Karena di dalamnya ada proses, setelah berita itu dikirim oleh jurnalis ke meja redaksi, maka editor dan redaktur wajib mengeceknya. Baru setelah itu dipublikasikan.

“Penggiat media sosial ada baikny/a juga belajar mengenai etika jurnalistik agar informasi yang dihasilkan memiliki kualitas yang lebih baik. Hati-hati terhadap jerat UU ITE jika salah dalam membuat postingan. Jika seorang jurnalis dilindungi oleh UU Nomor 1999 Tentang Sengketa Pers, sedangkan para penggiat media sosial bisa langsung dipidanakan,” pungkas Arifuddin dalam pemaparannya. (*)